Al-Maliki, salah satu dari tokoh empat mazhab selain As-Syafei, Al-Hanbali, dan Abu
Hanifah, terkenal dengan ucapan-ucapannya yang menunjukkan ketidakmengertian
dia ketika dihadapkan oleh suatu pertanyaan.
Saya menemukan ini ketika membaca buku Al-Ghazali yang terjemahannya berjudul 'Buat Pecinta Ilmu'. Al-Ghazali, salah satu mentor favorit saya, berargumentasi bahwa salah satu dari beberapa ciri orang yang berilmu, atau ulama, haruslah sadar akan keterbatasannya dan jujur akan ketidaktahuannya.
Bagi Al-Ghazali terdapat beberapa tingkatan ilmu wajib. Yang pertama dan paling utama adalah ilmu tentang ketuhanan, kerasulan, hakikat dunia dan akhirat atau baik dan buruk (fardhu ain), kemudian ilmu fardhu kifayah yang terdiri atas ilmu agama atau hukum-hukum syariah, dan di dalamnya juga termasuk ilmu-ilmu yang bertujuan untuk kemaslahatan umat seperti kedokteran dll. (dan ilmu-ilmu yang kita pelajari sewaktu sekolah mungkin), juga kemudian ilmu bahasa/ tata wicara/ sastra dan ilmu2 penunjang lainnya.
Dilihat dari urutan-urutannya, Al-Ghazali berharap manusia harus berusaha mencari dan meyakini ilmu mulai dari yang terpenting yaitu yang sifatnya fardhu ain, baru kemudian berlanjut ke macam-macam ilmu setelahnya. Apabila seseorang berniat mendalami ilmu dalam tingkatan lebih akhir tanpa terlebih dahulu mendalami ilmu yang lebih utama derajatnya, sudah dapat dipastikan bahwa orang itu akan tersesat, sehingga ilmu yang dimilikinya tidak akan dapat diterapkan dengan sebenar-benarnya melainkan dengan niat atau tujuan lain seperti pangkat, harta, kedudukan dan yang berhubungan dengan pemuasan hawa nafsu belaka. Orang-orang seperti ini, ia mengancam, akan merugi. Wah…!
Mungkin Al-Ghazali bermaksud untuk menunjukkan ketidaksukaannya melihat orang yang cakap bicara, yang sanggup menjawab apa saja pertanyaan yang diajukan kepada orang tersebut. Orang-orang yang pintar bicara memiliki kemampuan dalam bahasa dan komunikasi namun bisa saja tidak dilengkapi dasar segala ilmu yaitu ilmu yang tercakup dalam fardhu ain dan yang sesudahnya. Kemampuan berbahasa inilah yang agaknya membuatnya sanggup meyakinkan seseorang akan suatu hal yang terlihat ia cakap di dalamnya. Sehingga ia selalu tahu! Namun bisa saja ia berbohong, tidak jujur, memanipulasi fakta, yang sungguh tidak akan dilakukannya apabila ia memiliki pondasi ilmu fardhu ain yang berhubungan dengan hakikat dunia dan nilai-nilai moral.
Namun bayangkan betapa hebatnya ketika seseorang berbicara memang benar-benar karena pengetahuannya yang luas akan segala hal, dan memang didasarkan oleh keinginannya untuk mengamalkan ilmunya demi kebaikan manusia, dan seluruh alam semesta. Singkatnya sebagai wujud ibadah kepada Allah Sang Maha Besar.
Sejauh pemahaman saya dari bacaan ini, saya membayangkan Al-Ghazali berteriak pada saya: 'Wahai anakku, janganlah malu untuk berkata 'aku tidak tahu!' Namun jangan pula berleha-leha saja akan ketidaktahuanmu. Berbuatlah sesuatu, cari tahulah!' Sungguh, saya jadi tersentak dan terpicu
Sumber : Mimbar Dakwah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar