“Memangnya kenapa?
memangnya ada yang salah kalau cuma memanggil namaku hanya dengan
"Agus"? Itu memang nama pemberian dari orangtuaku sejak aku lahir.
Lalu kenapa kamu bilang aku ini futur? apa itu futur? Apa definisimu mengenai
kata futur? Semudah itukah engkau memberikan status futur kepada orang lain?
What is it? Atau lebih tepatnya what is shit! Jangan-jangan engkau tak tahu
apa-apa tentang apa itu futur.”
“Hei! Istighfar Gus, kenapa kamu jadi emosi begini?”
“Aku tidak emosi, Dhi. Kenapa memangnya?! Ada yang salah dengan itu? Apa karena aku tidak lagi memelihara jenggotku? Tidak lagi memanggilmu akhi, antum? Jarang bergaul dengan para ikhwah di masjid? Lalu apa mau kamu sekarang? Mengagungkan simbol-simbol? Fanatik, begitu?”
“Tapi tak sesederhana itu persoalannya, Gus”
“Hei! Istighfar Gus, kenapa kamu jadi emosi begini?”
“Aku tidak emosi, Dhi. Kenapa memangnya?! Ada yang salah dengan itu? Apa karena aku tidak lagi memelihara jenggotku? Tidak lagi memanggilmu akhi, antum? Jarang bergaul dengan para ikhwah di masjid? Lalu apa mau kamu sekarang? Mengagungkan simbol-simbol? Fanatik, begitu?”
“Tapi tak sesederhana itu persoalannya, Gus”
“Oh ya, terus apa lagi? Keikhlasan? Istiqomah?
Loyalitas dakwah? Apa lagi? Atau hanya karena banyak yang bilang aku sekarang
pacaran dengan Reina? Aku juga tidak pernah tahu pacaran itu apa, tapi boleh
kukatakan sesuatu? Reina memang pantas dijadikan seorang calon istri idaman.
Menurutku dia wanita yang sempurna!”
“Astaghfirullah…, Gus! Istighfar...!”
“Ya! Mungkin hanya itu yang mampu kau ucapkan, Dhi. Kau tidak tahu bahwa segala persoalan tak akan selesai dengan hanya berucap ‘astaghfirullah’, dengan muka memelas mengasihaniku. Ohh…ho…ho… kamu ingin mendengar aku gemetar dan begitu saja ‘menyadari kesalahanku’ seolah-olah aku benar-benar bersalah, begitu? Maaf, tidak akan, Dhi! Itu mimpi. Yang aku tahu kamu sudah terlalu jauh mencampuri kehidupan pribadiku! Kita memang sahabat, tapi tetap ada pagar privasi kan diantara sahabat?”
“Udah, deh. Lama-lama aku capek, Dhi! Kamu lihat diri kamu sendiri. Banyak mata kuliah yang nggak lulus. Kamu pikirin itu nilai-nilai akademismu.”
“Kita bukannya kuliah di jurusan sosial yang diajarkan untuk memantau strata sosial orang lain. Kita ini mahasiswa informatika. Mestinya apa yang kita pikirkan itu tidak terlalu primitif! Rasional dikit napa sih. Jaman kita udah hi-tech, Dhi!”
“Iya, Gus. Coba dengerin ana dulu.”
“Harus dengar apalagi? Segala pertanyaan seputar kenapa aku nggak ngaji lagi? Kenapa aku nggak pernah kelihatan di masjid lagi? Sekarang gini, kamu ikut lomba desain web itu kan? Nah, kalau kamu bisa ngalahin aku, baru aku mau dengar kamu ‘ceramah’! Tapi aku yakin kamu nggak bakal bisa, karena apa? Karena kamu akan sibuk dengan ‘komunitas’-mu sendiri!”
Kututup segera percakapan lewat telepon selular itu setelah mengucap kata ‘wassalam’ tanpa menghiraukan ‘tausiyah’ Ardhi lebih panjang lagi.
Aku melangkah kembali masuk ke kamar kostku dengan langkah gontai dan kembali menekuri pekerjaanku, mendesai web pesanan client.
“Hai!” suara renyah dari arah pintu kamarku. Gadis itu mengagetkanku dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Oh, kamu, Na,” jawabku setengah malas.
“Sedang apa A'?”
“Sepertinya?”
“Bikin web ya A'?” Reina menatap layar laptopku.
“Kalau sudah tahu kenapa tanya.”
“Suka banget sih A' pake flash?”
“Diam napa, sih? Berisik!”
“Dih, galak bener. Ntar aku dibikinin website juga ya A'? Yang ada pict profile-ku gitu.”
“Iya deh, ntar.”
“Aku bakalan masukin semua kegiatanku sehari-hari di situ. Terus orang-orang di luar sana bisa kenal siapa aku lewat About Me-nya. Eh, perlu nggak sih aku beli domain sendiri? Kurang oke kayaknya kalau upload pake domain gratisan. Lebih keren kan jadi namaaku dot kom gitu.”
“Idih, gayanya... dah kayak artis aja, Na.”
“Please, deh. Kamu ngapain, sih? Sewot bener hari ini.”
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak benar-benar gatal.
“Sorry, Na. Mood-ku lagi jelek. Mending kamu sekarang pulang, deh, ya. Aku harus selesein ini buat web design championship minggu depan. Okey, sayang? Biarkan aku berkonsentrasi penuh dan…, biar kamu kuantar pulang dulu aja kalau begitu.”
“Tapi kan aku baru saja datang ke kostmu. Baru aja masuk, masa sudah disuruh pulang lagi”
“Aku tahu, Na. Please, deh, ngerti ya… Bad mood ni.”
“Oke deh. Aku pulang. Tapi jangan lupa, besok jemput aku ke kampus ya A'.” Ups! Untung tanganku lincah bekerja sebelum Reina…
“Kenapa, sih A'? Cuma ciuman pipi aja napa. Ga boleh kah?”
“Jangan dulu, deh. Kita baru satu bulan jalan…”
Reina memandangku dengan muka ditekuk. Oh, apa aku telah berbuat kesalahan?
“Kamu membuat aku malu.”
“Sorry, aku…”
“Ya udah, A' ga usah ngantar pulang. Kelihatannya Aa' lagi sibuk gitu. Besok aku tunggu ya.”
“Thanks. Besok jangan lupa, In time.”
*******
Reina cantik. Menawan. Anggun. Putri kampus. Model lokal Bandung yang mulai naik daun di tingkat nasional. Dia lebih stylish dan modern daripada Nida. Hhmm… Ukhti Nida? Oh, aku sudah lupa.
“Jangan mengotori hati dengan hal-hal yang hanya menonjolkan nafsu saja, akhi. Kalau memang siap menikah, lebih baik disegerakan.”
“Maksud ente?” aku cukup terkejut dengan perkataan Ardhi waktu itu.
“Antum kelihatannya dekat sekali dengan ukhti Nida.”
“Oh, itu. Apa salahnya? Dia seorang desainer grafis dan ane butuh kerjasama dia untuk pembuatan website.”
“Ya, tapi kalau keseringan bisa menimbulkan fitnah.”
Fitnah?! Ya Tuhan, apalagi ini?
“Lantas? Ente minta ane untuk menikahinya? Wah! Itu tidak mungkin. Ane dah semester akhir. Tinggal dikit lagi lulus kuliah.”
“Itu bukan halangan.”
“Bukan halangan? Lantas bagaimana antum menyikapi kemapanan, kemandirian finansial? Karier?”
“Jangan berpikir terlalu rumit. Setiap orang memiliki rejekinya sendiri-sendiri.”
“Ini bukan berpikir rumit, tapi berpikir realistis!”
Padahal aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap Nida. Ehm… Ya! Tentu saja aku tidak suka dia. Aku yakin itu. Tetapi kenapa mereka meributkan kebersamaanku dengan Nida? Oke, aku memang belum terlalu paham akan konsep kebersamaan laki-laki dan wanita. Aku memang baru beberapa waktu terakhir ini mengikrarkan diri untuk berada dalam barisan mereka. Barisan dakwah yang menurutku memang merupakan suatu kebutuhan religius. Tapi lama-lama kupikir aku telah terjebak dalam konsep yang sangat idealis ini. Aku bahkan tidak bisa mencerna lagi konsep-konsep yang tidak membumi.
Dilarang berduaan dengan wanita, dilarang ini, dilarang itu. Amal jama’i, loyalitas dakwah, istiqomah. Apanya yang salah jika hanya berkawan dengan seorang wanita? Apanya yang loyal? Apakah harus dengan aktif di organisasi-organisasi dan melupakan skripsi seperti banyak teman aktifis? Apakah harus hidup sederhana hingga mirip gembel tanpa mempedulikan penampilan jika memang ia bisa tampil alias mampu? Apakah harus dengan simbolisasi yang membuatku kelihatan tidak militan jika tidak memakai baju koko, topi muslim, dan celana cingkrang? Tidak islami jika aku tidak menyebut: akhi, ukhti, antum, syukron, afwan, ana, dan lainnya? Sesempit itukah pen-definisi-an kata-kata itu sekarang ini oleh mereka? Nah! Nah! Aku mulai mengungkit segalanya hanya karena masalah Nida!
Kemudian akhirnya tamat sudah. Nampak sekali Nida yang menjaga jarak denganku. Efek domino pun tak terelakkan, diikuti dengan aku yang tidak lagi aktif mendatangi kajian, tidak lagi mau peduli dengan segala macam syuro, dan tidak lagi peduli jika mereka tidak lagi mempedulikan aku aktif atau tidak dalam segala kegiatan dakwah. Aku yang kembali slengehan dengan style acak-acakan ala masa jahiliahku. Lalu? Ardhi hadir lagi dan mem-vonis diriku dengan status futur? Aku adalah ikhwan baru hijrah yang gagal istiqomah dan berguguran di jalan dakwah? Futur? What is shit!
*******
ID Luky menyala terang ketika aku online.
Oi
Woi, Gus
Waatzup bro! Webmu ada masalah?
Lu denger juga ya? Sekarang Sembilan pustaka gue jadiin domain personal. Sudah gue beliin domain dot info. Jadinya sekarang bisa akses langsung lewat sembilanpustaka.info gitu...
hehehe, idih, bangga apa kesel tuh...
Siapa nggak kesel? Gue udah sukarela ngasih tumpangan, eh, masih bilang gue cari untung
Jangan-jangan folder:\dipikir-dulu\nya udah pada dimasukin recycle bin, tuh!
Brengsek!
Biarin dah pada download data-data yang ada di hosting. Itu juga kalau belum overbandwith, dan account masih nyala.
hahahaha
Ketawa lagi! Brengsek lu. Emang mereka pada tau gimana supaya hosting, domain, dan subdomain mereka bisa tetep nyala?
Suabarrrrr
Huehuehue… Orang bijak bilang: sabar disayang Tuhan.
Nah!
Eh, lu ada temen namanya Ardhi?
Ha? Iya. Kenapa? Kamu kenal?
Canggih anaknya?
Canggih? Hoho… Tunggu dulu.
Kenapa?
Dia nggak lebih hebat daripada aku. Dia mahasiswa IT yang nggak hi-tech sama sekali. Dia seperti nggak peduli tentang gelombang ketiga ini yang mengindikasikan bahwa pemilik pengetahuan adalah penentu kebijakan yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan pengakuan dan aktualisasi diri.
Sieeh… Uhui! Bahasa elu canggih amat cing.
Baru juga aku "agak" deket sama cewek pinter saja dia ikut-ikutan sirik.
Jadi masalahnya cuma karena rebutan cewek lu jadi BT gitu sama dia?
Nggak sesederhana itu, Luk! Kamu pikir deh! Sub sistem sosial yang terwujud dalam masyarakat pekerja ilmu pengetahuan dan informasi, dengan struktur horisontal.
Oh yeah?
Juga dengan pola interaktif yang ada, apa salah kalau aku dekat dengan cewek itu? Dia jago grafis! Tujuanku cuma sharing aja.
Bener cuma sharing? Lu kan laki, Gus? Lu ribut gitu, bener karena nggak suka tuh cewek atau cuma ngeles karena ego lu? JAIM gitu...
Ngeles? Hohoho… Aku… aku memang nggak suka sama Nida. Nggak mungkin aku suka! Nggak mungkin kan?! Ah, nggak mungkin!
Terserah kamu bilang apa deh. Aku yakin, justru dia yang naksir Nida.
Nida?
Cewek yang aku bilang tadi tuh. Soalnya dia yang paling sewot kalau aku dekat sama tuh cewek.
Hehehe. Itu bukan urusan gue.
Eh, lu udah liat pengumuman lomba kemarin?
Oh ya!
Pengumumannya hari ini kan?
Lu pasti pingsan kalau gue kasih tahu siapa yang menang.
Oh ya?
Who?
Gue.
Apa?! Gila! Kamu serius? :mad:
Tanganku segera bergerak mengakses internet explorer untuk membuka webmaster-group.co.id, penyelenggara lomba, dengan hati berdebar. Luky juara satu? Lantas desainku?
Huehue. Emangnya cuma lu aja yang bisa jadi juara?
Gue gak nyangka, deh. Hebat!
IE-ku masih berproses. Aduh, lambat banget! Tapi kalau Luky juara, sih, mungkin saja. Tapi…
Selamat! Tapi untuk kompetisi selanjutnya aku bakal ngalahin kamu.
Huuehue… Gue tunggu!
Anak universitas lu yang lu bilang sirik, gak canggih, itu ikut juga ternyata.
Gak bakal menang dia!
Hihihi. Apa iya? yakin lu? Coba gih baca dulu pengumuman lombanya...
Otakku masih berpikir. Gila! Si luky bisa melesat gitu. Padahal aku yakin aku bakal menang. Semua tahu aku satu-satunya webmaster Indonesia, mewakili institutku, yang menang dalam kompetisi IBM web design kemarin. Itu juga yang membuatku merasa punya masa depan karena setelah lulus aku dapat beasiswa S2 ke Jerman untuk IT.
Jadi kalau Luky sang juara, nasib desainku gimana, dong? Dianggap cupu begitu?
Aku segera melihat pengumuman Web Design Championship begitu homepage terbuka. Dan mataku terbelalak seketika!
ID Luky, teman cyber yang juga ikut lomba itu, berkedip-kedip.
Sialnya lu cuma harapan satu. Wazz up? Lu jadi bego gini, sih.
Aku minimize layar chatting itu. Kualihkan lagi perhatianku pada pengumuman lomba. Otakku masih belum bisa mencerna dengan sempurna.
Desain lu yang menang di IBM keren banget pas gue liat di PlanetWeB exhibition bulan lalu. Tapi kok yang ini bisa jelek gini?
Lemas sudah seluruh persendianku.
Kamu dapat juara dua ya… Selamat.
Hehehe… Sorry, gue becanda. Temen lu hebat juga ya.
Aku cabut dulu.
Kumatikan ID-ku dan bergegas keluar kamar tanpa menunggu reaksi Luky.
“Heh? Ardhi?! Juara satu???”
“Eehhhh! Mau kemana A'?” tiba-tiba Reina muncul di depan kamarku.
“Aku harus pergi sekarang, Na. Aku ada urusan. Penting.”
“Tapi aku kan baru datang, A'.”
“Ya, tapi… Tapi aku ada urusan penting sekarang ini. Kamu masuk aja deh, tunggu di dalem kamar, atau pulang aja, atau… terserah kamu, deh!”
“Eehh..hh. Aa' apa-apaan, sih? Kok jadi aneh gini sih A'. Ada masalah apasih, coba cerita ke Nana. Kali aja Nana bisa bantu Aa'”
“Please, Na. Aduh, lepasin tangan kamu, dong!”
Reina mendelik.
“Kamu aneh banget, sih, A'?”
“Sorry. Aku bener-bener harus pergi, nih.”
Setengah berlari aku menuju garasi. Tak kuhiraukan lagi Reina yang berteriak-teriak memanggilku dari depan kamarku.
“Woi!! Kamu normal apa hombreng, sih, A'?! Kenapa kesentuh dikit aja selalu marah?”
Telingaku mendengar juga teriakannya. Aku? homo? Idihh, amit-amit, deh!
*******
“Selamat ya Dhi. Kamu menang kompetisi itu.”
“Syukron. Tapi mestinya antum gak perlu seperti ini.”
“Aku hanya mencoba sportif. Ternyata kamu bisa ngalahin aku juga.”
“Hadiah utamanya keren, sih. Lumayan deh buat nambah-nambah biaya nikah. Mungkin ALLAH ngasih rejekinya lewat sini.”
“Apa?! Nikah?” mataku terbelalak, menatap tak percaya.
“Ya.” Ardhi tersenyum. “Kok kaget gitu, sih? Biasa aja kenapa. Apa karena ana masih belum ngelarin tugas akhir?”
“Dengan siapa, Dhi?”
“Tebak deh! Mahasiswi sini juga. Akhwat fakultas seni rupa dan desain.”
“Nida???”
Ardhi tersenyum.
“Bukan lah.”
“Ohhh…”
Aku tertegun sejenak.
“Kalau begitu, selamat… lagi.”
Ardhi menjabat tanganku erat.
“Sekarang seperti janjiku dulu, kamu boleh ceramahi aku sepuasnya.”
Ardhi hanya tersenyum.
“Kenapa harus begini, sih?”
“Udah, mumpung aku kasih kamu kesempatan ceramah. Aku juga ga kepingin punya hutang janji sama orang.”
“Semua bukan untuk diperdebatkan dengan keliru, Gus. Jangan hanya melihat segalanya dalam satu sisi. Banyak kemuliaan yang ditawarkan Islam. Yang penting itu di sini nih…” Ardhi menempelkan ujung telunjuknya di dadaku.
“Iman dan keikhlasan. Kalau kamu masih punya itu, kembalilah di jalan Allah dengan kelapangan. Dakwah membutuhkan orang-orang yang kritis sepertimu, Gus. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya secara tepat. Islam itu mudah, jadi jangan dipersulit, yang hingga akhirnya mempersulit diri sendiri.”
“Sorry, mungkin aku memang kebanyakan bicara. Tapi kamu harus tahu satu hal. Jangan pernah melihat Islam secara personal.”
Kali ini kupaksakan untuk tersenyum.
“Barakallahulaka, akhi. Doakan saja aku.”
“Tentu.”
Hmmm… Kutarik nafas panjang. Kesederhanaan Ardhi, kesederhanaan Islam. Kesucian hati. Hmm, rasanya aku mulai mengerti kenapa aku tak pernah ingin Reina menyentuhku! Hahaha, aku rasa gadis itu paling sudah melupakan aku karena mbak Yona, waria seksi itu, akan mengajaknya bergosip di salon langganannya sambil manicure-pedicure seharian penuh.
*end*
WaLLAHu a'lam bishawab
“Astaghfirullah…, Gus! Istighfar...!”
“Ya! Mungkin hanya itu yang mampu kau ucapkan, Dhi. Kau tidak tahu bahwa segala persoalan tak akan selesai dengan hanya berucap ‘astaghfirullah’, dengan muka memelas mengasihaniku. Ohh…ho…ho… kamu ingin mendengar aku gemetar dan begitu saja ‘menyadari kesalahanku’ seolah-olah aku benar-benar bersalah, begitu? Maaf, tidak akan, Dhi! Itu mimpi. Yang aku tahu kamu sudah terlalu jauh mencampuri kehidupan pribadiku! Kita memang sahabat, tapi tetap ada pagar privasi kan diantara sahabat?”
“Udah, deh. Lama-lama aku capek, Dhi! Kamu lihat diri kamu sendiri. Banyak mata kuliah yang nggak lulus. Kamu pikirin itu nilai-nilai akademismu.”
“Kita bukannya kuliah di jurusan sosial yang diajarkan untuk memantau strata sosial orang lain. Kita ini mahasiswa informatika. Mestinya apa yang kita pikirkan itu tidak terlalu primitif! Rasional dikit napa sih. Jaman kita udah hi-tech, Dhi!”
“Iya, Gus. Coba dengerin ana dulu.”
“Harus dengar apalagi? Segala pertanyaan seputar kenapa aku nggak ngaji lagi? Kenapa aku nggak pernah kelihatan di masjid lagi? Sekarang gini, kamu ikut lomba desain web itu kan? Nah, kalau kamu bisa ngalahin aku, baru aku mau dengar kamu ‘ceramah’! Tapi aku yakin kamu nggak bakal bisa, karena apa? Karena kamu akan sibuk dengan ‘komunitas’-mu sendiri!”
Kututup segera percakapan lewat telepon selular itu setelah mengucap kata ‘wassalam’ tanpa menghiraukan ‘tausiyah’ Ardhi lebih panjang lagi.
Aku melangkah kembali masuk ke kamar kostku dengan langkah gontai dan kembali menekuri pekerjaanku, mendesai web pesanan client.
“Hai!” suara renyah dari arah pintu kamarku. Gadis itu mengagetkanku dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Oh, kamu, Na,” jawabku setengah malas.
“Sedang apa A'?”
“Sepertinya?”
“Bikin web ya A'?” Reina menatap layar laptopku.
“Kalau sudah tahu kenapa tanya.”
“Suka banget sih A' pake flash?”
“Diam napa, sih? Berisik!”
“Dih, galak bener. Ntar aku dibikinin website juga ya A'? Yang ada pict profile-ku gitu.”
“Iya deh, ntar.”
“Aku bakalan masukin semua kegiatanku sehari-hari di situ. Terus orang-orang di luar sana bisa kenal siapa aku lewat About Me-nya. Eh, perlu nggak sih aku beli domain sendiri? Kurang oke kayaknya kalau upload pake domain gratisan. Lebih keren kan jadi namaaku dot kom gitu.”
“Idih, gayanya... dah kayak artis aja, Na.”
“Please, deh. Kamu ngapain, sih? Sewot bener hari ini.”
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak benar-benar gatal.
“Sorry, Na. Mood-ku lagi jelek. Mending kamu sekarang pulang, deh, ya. Aku harus selesein ini buat web design championship minggu depan. Okey, sayang? Biarkan aku berkonsentrasi penuh dan…, biar kamu kuantar pulang dulu aja kalau begitu.”
“Tapi kan aku baru saja datang ke kostmu. Baru aja masuk, masa sudah disuruh pulang lagi”
“Aku tahu, Na. Please, deh, ngerti ya… Bad mood ni.”
“Oke deh. Aku pulang. Tapi jangan lupa, besok jemput aku ke kampus ya A'.” Ups! Untung tanganku lincah bekerja sebelum Reina…
“Kenapa, sih A'? Cuma ciuman pipi aja napa. Ga boleh kah?”
“Jangan dulu, deh. Kita baru satu bulan jalan…”
Reina memandangku dengan muka ditekuk. Oh, apa aku telah berbuat kesalahan?
“Kamu membuat aku malu.”
“Sorry, aku…”
“Ya udah, A' ga usah ngantar pulang. Kelihatannya Aa' lagi sibuk gitu. Besok aku tunggu ya.”
“Thanks. Besok jangan lupa, In time.”
*******
Reina cantik. Menawan. Anggun. Putri kampus. Model lokal Bandung yang mulai naik daun di tingkat nasional. Dia lebih stylish dan modern daripada Nida. Hhmm… Ukhti Nida? Oh, aku sudah lupa.
“Jangan mengotori hati dengan hal-hal yang hanya menonjolkan nafsu saja, akhi. Kalau memang siap menikah, lebih baik disegerakan.”
“Maksud ente?” aku cukup terkejut dengan perkataan Ardhi waktu itu.
“Antum kelihatannya dekat sekali dengan ukhti Nida.”
“Oh, itu. Apa salahnya? Dia seorang desainer grafis dan ane butuh kerjasama dia untuk pembuatan website.”
“Ya, tapi kalau keseringan bisa menimbulkan fitnah.”
Fitnah?! Ya Tuhan, apalagi ini?
“Lantas? Ente minta ane untuk menikahinya? Wah! Itu tidak mungkin. Ane dah semester akhir. Tinggal dikit lagi lulus kuliah.”
“Itu bukan halangan.”
“Bukan halangan? Lantas bagaimana antum menyikapi kemapanan, kemandirian finansial? Karier?”
“Jangan berpikir terlalu rumit. Setiap orang memiliki rejekinya sendiri-sendiri.”
“Ini bukan berpikir rumit, tapi berpikir realistis!”
Padahal aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap Nida. Ehm… Ya! Tentu saja aku tidak suka dia. Aku yakin itu. Tetapi kenapa mereka meributkan kebersamaanku dengan Nida? Oke, aku memang belum terlalu paham akan konsep kebersamaan laki-laki dan wanita. Aku memang baru beberapa waktu terakhir ini mengikrarkan diri untuk berada dalam barisan mereka. Barisan dakwah yang menurutku memang merupakan suatu kebutuhan religius. Tapi lama-lama kupikir aku telah terjebak dalam konsep yang sangat idealis ini. Aku bahkan tidak bisa mencerna lagi konsep-konsep yang tidak membumi.
Dilarang berduaan dengan wanita, dilarang ini, dilarang itu. Amal jama’i, loyalitas dakwah, istiqomah. Apanya yang salah jika hanya berkawan dengan seorang wanita? Apanya yang loyal? Apakah harus dengan aktif di organisasi-organisasi dan melupakan skripsi seperti banyak teman aktifis? Apakah harus hidup sederhana hingga mirip gembel tanpa mempedulikan penampilan jika memang ia bisa tampil alias mampu? Apakah harus dengan simbolisasi yang membuatku kelihatan tidak militan jika tidak memakai baju koko, topi muslim, dan celana cingkrang? Tidak islami jika aku tidak menyebut: akhi, ukhti, antum, syukron, afwan, ana, dan lainnya? Sesempit itukah pen-definisi-an kata-kata itu sekarang ini oleh mereka? Nah! Nah! Aku mulai mengungkit segalanya hanya karena masalah Nida!
Kemudian akhirnya tamat sudah. Nampak sekali Nida yang menjaga jarak denganku. Efek domino pun tak terelakkan, diikuti dengan aku yang tidak lagi aktif mendatangi kajian, tidak lagi mau peduli dengan segala macam syuro, dan tidak lagi peduli jika mereka tidak lagi mempedulikan aku aktif atau tidak dalam segala kegiatan dakwah. Aku yang kembali slengehan dengan style acak-acakan ala masa jahiliahku. Lalu? Ardhi hadir lagi dan mem-vonis diriku dengan status futur? Aku adalah ikhwan baru hijrah yang gagal istiqomah dan berguguran di jalan dakwah? Futur? What is shit!
*******
ID Luky menyala terang ketika aku online.
Oi
Woi, Gus
Waatzup bro! Webmu ada masalah?
Lu denger juga ya? Sekarang Sembilan pustaka gue jadiin domain personal. Sudah gue beliin domain dot info. Jadinya sekarang bisa akses langsung lewat sembilanpustaka.info gitu...
hehehe, idih, bangga apa kesel tuh...
Siapa nggak kesel? Gue udah sukarela ngasih tumpangan, eh, masih bilang gue cari untung
Jangan-jangan folder:\dipikir-dulu\nya udah pada dimasukin recycle bin, tuh!
Brengsek!
Biarin dah pada download data-data yang ada di hosting. Itu juga kalau belum overbandwith, dan account masih nyala.
hahahaha
Ketawa lagi! Brengsek lu. Emang mereka pada tau gimana supaya hosting, domain, dan subdomain mereka bisa tetep nyala?
Suabarrrrr
Huehuehue… Orang bijak bilang: sabar disayang Tuhan.
Nah!
Eh, lu ada temen namanya Ardhi?
Ha? Iya. Kenapa? Kamu kenal?
Canggih anaknya?
Canggih? Hoho… Tunggu dulu.
Kenapa?
Dia nggak lebih hebat daripada aku. Dia mahasiswa IT yang nggak hi-tech sama sekali. Dia seperti nggak peduli tentang gelombang ketiga ini yang mengindikasikan bahwa pemilik pengetahuan adalah penentu kebijakan yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan pengakuan dan aktualisasi diri.
Sieeh… Uhui! Bahasa elu canggih amat cing.
Baru juga aku "agak" deket sama cewek pinter saja dia ikut-ikutan sirik.
Jadi masalahnya cuma karena rebutan cewek lu jadi BT gitu sama dia?
Nggak sesederhana itu, Luk! Kamu pikir deh! Sub sistem sosial yang terwujud dalam masyarakat pekerja ilmu pengetahuan dan informasi, dengan struktur horisontal.
Oh yeah?
Juga dengan pola interaktif yang ada, apa salah kalau aku dekat dengan cewek itu? Dia jago grafis! Tujuanku cuma sharing aja.
Bener cuma sharing? Lu kan laki, Gus? Lu ribut gitu, bener karena nggak suka tuh cewek atau cuma ngeles karena ego lu? JAIM gitu...
Ngeles? Hohoho… Aku… aku memang nggak suka sama Nida. Nggak mungkin aku suka! Nggak mungkin kan?! Ah, nggak mungkin!
Terserah kamu bilang apa deh. Aku yakin, justru dia yang naksir Nida.
Nida?
Cewek yang aku bilang tadi tuh. Soalnya dia yang paling sewot kalau aku dekat sama tuh cewek.
Hehehe. Itu bukan urusan gue.
Eh, lu udah liat pengumuman lomba kemarin?
Oh ya!
Pengumumannya hari ini kan?
Lu pasti pingsan kalau gue kasih tahu siapa yang menang.
Oh ya?
Who?
Gue.
Apa?! Gila! Kamu serius? :mad:
Tanganku segera bergerak mengakses internet explorer untuk membuka webmaster-group.co.id, penyelenggara lomba, dengan hati berdebar. Luky juara satu? Lantas desainku?
Huehue. Emangnya cuma lu aja yang bisa jadi juara?
Gue gak nyangka, deh. Hebat!
IE-ku masih berproses. Aduh, lambat banget! Tapi kalau Luky juara, sih, mungkin saja. Tapi…
Selamat! Tapi untuk kompetisi selanjutnya aku bakal ngalahin kamu.
Huuehue… Gue tunggu!
Anak universitas lu yang lu bilang sirik, gak canggih, itu ikut juga ternyata.
Gak bakal menang dia!
Hihihi. Apa iya? yakin lu? Coba gih baca dulu pengumuman lombanya...
Otakku masih berpikir. Gila! Si luky bisa melesat gitu. Padahal aku yakin aku bakal menang. Semua tahu aku satu-satunya webmaster Indonesia, mewakili institutku, yang menang dalam kompetisi IBM web design kemarin. Itu juga yang membuatku merasa punya masa depan karena setelah lulus aku dapat beasiswa S2 ke Jerman untuk IT.
Jadi kalau Luky sang juara, nasib desainku gimana, dong? Dianggap cupu begitu?
Aku segera melihat pengumuman Web Design Championship begitu homepage terbuka. Dan mataku terbelalak seketika!
ID Luky, teman cyber yang juga ikut lomba itu, berkedip-kedip.
Sialnya lu cuma harapan satu. Wazz up? Lu jadi bego gini, sih.
Aku minimize layar chatting itu. Kualihkan lagi perhatianku pada pengumuman lomba. Otakku masih belum bisa mencerna dengan sempurna.
Desain lu yang menang di IBM keren banget pas gue liat di PlanetWeB exhibition bulan lalu. Tapi kok yang ini bisa jelek gini?
Lemas sudah seluruh persendianku.
Kamu dapat juara dua ya… Selamat.
Hehehe… Sorry, gue becanda. Temen lu hebat juga ya.
Aku cabut dulu.
Kumatikan ID-ku dan bergegas keluar kamar tanpa menunggu reaksi Luky.
“Heh? Ardhi?! Juara satu???”
“Eehhhh! Mau kemana A'?” tiba-tiba Reina muncul di depan kamarku.
“Aku harus pergi sekarang, Na. Aku ada urusan. Penting.”
“Tapi aku kan baru datang, A'.”
“Ya, tapi… Tapi aku ada urusan penting sekarang ini. Kamu masuk aja deh, tunggu di dalem kamar, atau pulang aja, atau… terserah kamu, deh!”
“Eehh..hh. Aa' apa-apaan, sih? Kok jadi aneh gini sih A'. Ada masalah apasih, coba cerita ke Nana. Kali aja Nana bisa bantu Aa'”
“Please, Na. Aduh, lepasin tangan kamu, dong!”
Reina mendelik.
“Kamu aneh banget, sih, A'?”
“Sorry. Aku bener-bener harus pergi, nih.”
Setengah berlari aku menuju garasi. Tak kuhiraukan lagi Reina yang berteriak-teriak memanggilku dari depan kamarku.
“Woi!! Kamu normal apa hombreng, sih, A'?! Kenapa kesentuh dikit aja selalu marah?”
Telingaku mendengar juga teriakannya. Aku? homo? Idihh, amit-amit, deh!
*******
“Selamat ya Dhi. Kamu menang kompetisi itu.”
“Syukron. Tapi mestinya antum gak perlu seperti ini.”
“Aku hanya mencoba sportif. Ternyata kamu bisa ngalahin aku juga.”
“Hadiah utamanya keren, sih. Lumayan deh buat nambah-nambah biaya nikah. Mungkin ALLAH ngasih rejekinya lewat sini.”
“Apa?! Nikah?” mataku terbelalak, menatap tak percaya.
“Ya.” Ardhi tersenyum. “Kok kaget gitu, sih? Biasa aja kenapa. Apa karena ana masih belum ngelarin tugas akhir?”
“Dengan siapa, Dhi?”
“Tebak deh! Mahasiswi sini juga. Akhwat fakultas seni rupa dan desain.”
“Nida???”
Ardhi tersenyum.
“Bukan lah.”
“Ohhh…”
Aku tertegun sejenak.
“Kalau begitu, selamat… lagi.”
Ardhi menjabat tanganku erat.
“Sekarang seperti janjiku dulu, kamu boleh ceramahi aku sepuasnya.”
Ardhi hanya tersenyum.
“Kenapa harus begini, sih?”
“Udah, mumpung aku kasih kamu kesempatan ceramah. Aku juga ga kepingin punya hutang janji sama orang.”
“Semua bukan untuk diperdebatkan dengan keliru, Gus. Jangan hanya melihat segalanya dalam satu sisi. Banyak kemuliaan yang ditawarkan Islam. Yang penting itu di sini nih…” Ardhi menempelkan ujung telunjuknya di dadaku.
“Iman dan keikhlasan. Kalau kamu masih punya itu, kembalilah di jalan Allah dengan kelapangan. Dakwah membutuhkan orang-orang yang kritis sepertimu, Gus. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya secara tepat. Islam itu mudah, jadi jangan dipersulit, yang hingga akhirnya mempersulit diri sendiri.”
“Sorry, mungkin aku memang kebanyakan bicara. Tapi kamu harus tahu satu hal. Jangan pernah melihat Islam secara personal.”
Kali ini kupaksakan untuk tersenyum.
“Barakallahulaka, akhi. Doakan saja aku.”
“Tentu.”
Hmmm… Kutarik nafas panjang. Kesederhanaan Ardhi, kesederhanaan Islam. Kesucian hati. Hmm, rasanya aku mulai mengerti kenapa aku tak pernah ingin Reina menyentuhku! Hahaha, aku rasa gadis itu paling sudah melupakan aku karena mbak Yona, waria seksi itu, akan mengajaknya bergosip di salon langganannya sambil manicure-pedicure seharian penuh.
*end*
WaLLAHu a'lam bishawab
Sumber : Mimbar Dakwah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar