Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum..
======================
Sabtu
pagi yang cerah, tidak secerah hatiku. Sudah beberapa bulan ini hanya bisa
mondar-mandir dirumah, tidak ada aktifitas yang dapat kulakukan. Walaupun
keluar hanya melaksanakan Sholat lima waktu yang terkadang dikerjakan
dirumah. Gelar sarjana yang kumiliki hanya terpajang dalam sebuah
transkip nilai IPK (Indeks Prestasi Komulatif) di kamar yang berantakan, tak
pernah kurapikan.
Foto
saat wisuda nampak tersenyum, senyuman sekaligus menertawai kepada seorang
sarjana yang masih menganggur. Bukannya tidak mau bekerja, aku berusaha mencari
pekerjaan, akan tetapi perusahaan-perusahaan itu tidak mau menerimaku sebagai
karyawan. Jadi, sehari-hari hanya didepan komputer merangkai kata bak seorang
pujangga, menulis bait syair atau novel picisan yang membuat melotot anak
remaja.
Pagi
tadi ibu berteriak menggetarkan seluruh alam. Menulis sejuta kata dalam
kekesalan. Menagih janji yang tak kunjung tiba. Pedas kata ibu mengiris hati.
"Ade...!!
Empat tahun kamu kuliah, berapa juta yang kau habiskan??, Tapi kamu hanya bisa
ber-tapa dikamar yang bau apek!! Sarjana macam apa kamu, hah!! Kerjanya
melototi komputer setiap jam, setiap hari..., bukannya cari kerja. Bukannya
cari duit. Mau jadi apa kamu nanti, hah!!"
Sakit
hati ini..., rasa sakit bukan karena marah sama ibu, tapi menangis karena
keadaan yang melambungkan kemiskinan dan pengangguran.
Akhirnya,
sebelum Dzuhur aku mengemasi semua peralatan, memasukkan setumpuk map berisi
biodata dan setumpuk lembaran cerpen plus novel yang telah rapi kususun kedalam
tas yang menemani sejak kuliah dulu. Entah mau kemana, yang pasti diluar sana
mudah-mudahan Allah memberikan rizkinya.
Bis
Patas AC EKA dengan tujuan jakarta menghampiriku yang memang sedari tadi
menunggu. Tidak biasanya, bis hari ini sepi dan nyaman. Aku duduk dibarisan
tengah yang dua bangkunya masih kosong, sengaja aku duduk disitu karena ingin
merasakan kenyamanan dan menghilangkan kepenatan di rumah. Bis melaju menyusuri
jalanan yang berdebu, menyalip angkot-angkot yang tak berdaya melawan gagahnya
sang bis. Diluar kulihat rumah-rumah dan toko-toko bertingkat berjejer
disepanjang jalan, mengganti lahan padi menjadi bangunan yang angkuh dan
sombong.
Tak
lama bis kurasa berhenti, tak tahu sedang menurunkan atau menaikkan penumpang,
yang jelas sedetik setelah bis melaju kembali, sesosok wanita dengan enaknya
duduk disampingku, seorang wanita dengan jilbab lebar berwarna putih dengan
pakaian yang berwarna biru muda. Aku tak peduli, yang ada hanya kekaguman
melihat gunung salak jauh disana, terlihat samar-samar berwarna
kebiru-biruan.
Sejenak
aku diam. Wanita disampingku menggerakkan tangannya, nampak sebuah buku yang
dikeluarkannya, kuperhatikan ternyata sebuah buku berwarna Pink.
"Pasti
tentang cinta." sedetik aku berpikir. Benar dugaanku, sebuah buku
berjudul: Aku mencintaimu, Akhi. Jadikan aku istrimu.
"Cinta
lagi..., cinta lagi..., Wah!! apa dunia ini tak pernah bosan-bosannya dengan
cinta? Apa Allah menciptakan manusia hanya karena cinta?" ucapku
dalam hati. Membayangkan kisah cinta yang selalu menemani setiap jiwa manusia.
Hmm, sebenarnya aku juga akan selalu merindukan cinta.
Aku
menghempaskan pandangan, kembali ke jendela menyaksikan berjuta manusia bertarung
dalam riuhnya suasana, manusia yang bertarung demi sesuap nasi. Mendadak mataku
terasa perih, dengan refleks membuang muka tepat kearah wanita tadi.
Subhanallah, ternyata wajah wanita itu sangat cantik. Ayu manis. Matanya
sayu-bening, dagunya indah, bibir tipis merah-jambu, disempurnakan dengan
hidungnya yang aduhai. Hatiku berdegup kencang, meletup-letup membangunkan
syaraf kedewasaaan.
Aaakhh...,
wajahnya tenang penuh kesejukan. Bersih bersinar bak rembulan yang tidak malu
menampakkan keindahannya.
"Kenapa
aku baru melihatnya. Kenapa baru sekarang menyadari seorang bidadari duduk
disampingku." pikiran terus menyesali keterlambatanku. Semua kepenatan
masalah dirumah seketika lenyap, terbius oleh sosok bidadari cantik yang duduk
disampingku.
Jari-jari
lentiknya membuka halaman demi halaman buku yang sedari tadi dibacanya dengan
penuh takzim dan penghayatan. Aku mencintaimu, akhi!!, jadikan aku istrimu.
Tanpa
sadar dia melirikku, aaakhh..., indah sekali. Bola matanya memancarkan
kesholehan yang tersimpan di sela-sela warna biru. Dia tersenyum. Memamerkan
bibir tipisnya yang sungguh menggoda, andai saja dia jadi istriku tak akan
kulepas bibir indahnya itu. Kedua pipinya bersih, lesung pipit semakin menggoda
para lelaki yang sedang dirundung kesepian. Aaakhh..., jiwaku bergetar. Tak
kuasa terus menatap wajahnya yang terlukis indah. Aku palingkan muka, kembali
menatap keluar, namun wajah wanita itu masih berkelebatan. Aaakhh..., andai
saja wanita ini menjadi istriku tak akan henti kucumbu-bermesra dengannya. Aku
tetap menatap keluar sana, membayangkan indahnya bersama permaisuri cantik,
bermimpi dalam indahnya sang bidadari.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sesaat
kemudian wanita itu menyapa. Tadinya aku tidak percaya, apa urusan dia
denganku?
"Assalamu'alaikum.
Mas...?" suaranya begitu merdu, merembes keseluruh kujur tubuh. Membasahi
jiwa yang kering.
"Wa'alaikum
salam. Ada yang bisa saya bantu mbak'??" akhirnya aku menjawab dengan tak
kalah sopannya. Duh... mawar mewangi....! Betapa cantik wanita ini, senyumnya
menebar aroma kesturi yang merangsang keorgan yang paling dalam. Saking
terlenanya, aku tak kuasa menahan pandangan. Menyusuri semua bagian wajahnya
yang ayu.
"Maaf
mas, Masjid raya masih jauh ya??" tanya dia. Masih jelas menatapku dengan
kebeningan matanya semakin menggoda khayalku.
"Masjid
raya? Owh..., dekat. Sebentar lagi, kebetulan saya juga mau mampir dulu, hendak
sholat Dzuhur. Nanti kita bareng saja turunnya." dengan semangat kujawab
tutur halusnya.
Dia
diam, membuka lembaran baru buku yang dibacanya. "Ini kesempatan emas,
harus kugunakan untuk berkenalan." pikirku, sekilat merangkai kata yang
tepat untuk mengatakan satu pertanyaan saja.
"Maaf,
mba dari mana asalnya?" sangat hati-hati kuucap.
"Saya
dari Bandung."
"Bandung??"
"Iya!"
"Jadi,
bisa sunda."
"Tiasa
(Baca:Bisa). Mas, dari mana??"
"Dari
Solo."
"Kalau
begitu panggil saja saya teteh, teh Indah Nurhikmah." Amboii...! namanya
Indah, seperti orangnya penuh keindahan.
"Saya
Ade. Ade kelana. Panggil aja Mas Ade."
"Masih
kuliah? Atau sudah kerja?" tanyaku memperpanjang pembicaraan.
"Masih.
Sedang nyusun skripsi." singkatnya. Lalu kami terdiam, dia meneruskan
membacanya, sedangkan aku tak puas-puasnya mengamati keelokannya.
"Sudah
bersuami??" tanyaku memecahkan kesunyian, pertanyaan yang meluncur tanpa
di olah dalam sel otakku. Raut mukanya tampak terkejut, namun masih terlihat
cantik.
"Oh...,
belum. Masih menunggu pinangan seorang laki-laki." jawabnya polos.
Aku
diam, sejuta asa menyelimuti jiwa, perasaan mengharu biru. Entah datangnya
darimana, keberadaan dirinya terasa sangat menentramkan, sepanjang jalan tak
hentinya aku bertanya dan bercerita. Walaupun dia tak berani menatapku. Namun,
sesekali aku curi sorot matanya yang indah.
Sekejap
masjid raya terlihat. Aku bangkit. Kubisikan ketelinga Indah, bahwa masjid
sudah dekat. Diapun mengangguk pelan... sambil berjalan kepintu mengikutiku
yang sudah terlebih dahulu. Tiga puluh meter dari masjid bis berhenti, aku
turun melangkah keluar, Indah satu per satu menuruni tangga bis. Aku berdiri
dengan gagahnya menjaga kalau-kalau bidadari ini jatuh, sayang kalau kulitnya
yang mulus tergores aspal jalanan.
Sepuluh
meter sampai di masjid. Tak henti aku menoleh kebelakang, Indah mengikuti
dengan-cukup jaga jarak. Aku jadi gemes, kenapa sih tidak jalan disampingku
saja, kan lebih romantis sambil mengecup harumnya mawar yang merekah. Dia
memang sholehah, tidak mau berjalan berdua dengan lelaki bukan muhrim. Pantas
saja jilbabnya begitu lebar, menutupi keanggunannya. Beberapa langkah masuk
masjid, sengaja aku berhenti. Indah terkejut, sekarang sudah tepat disampingku,
nyaris menubruk. Dia tersenyum, masih cantik.
"Lhoo..,
kok berhenti Mas??" tanya lembutnya.
"Sampai
lupa, boleh Mas minta nomor Ha-Penya??" balasaku, dia mengerti. Lalu
diberinya nomor Ha-Pe, lengkap dengan alamat rumah, jln. Dewi pesona indah,
Bandung.
"Ngapain
pake alamat rumah segala sih?" bisikku dalam hati.
Seminggu
sudah melewati waktu, berlari dalam seribu tanda tanya. Berkali-kali kucoba
menghubunginya lewat HP, tapi nomornya tidak aktif. Aaakhh..., mungkin yang
diberikannya bukan nomornya yang asli. Siapa juga yang akan memberikan nomor HP
kesembarang orang yang tak dikenalnya.
Sejak
pertemuan di bis itu jiwaku seakan merasa ada sesuatu yang hilang, tumbuh
asmara yang tiada henti melayang. Wajahnya yang cantik tak mampu kulupakan,
keelokan-kejelitaan-wajahnya membasahi seluruh jiwa. Membenamkan asa yang
begitu kuat menghujami diri.
Disetiap
malam aku merintih, meneteskan air mata menengadahkan kedua tangan, berdoa.
Bersujud dalam kebimbangan jiwa, terhempas dalam titian rindu yang merana. Hati
yang sudah teramat jatuh keseorang wanita, tak akan mudah ditelan waktu, ia
selalu hadir meski hanya dalam bayang-bayang. Apa dia akan kembali padaku?, apa
aku dapat bertemu kembali dengannya? Apa dia benar-benar nyata? Seribu tanya
menyelimuti hati.
Dihari
yang berbeda, hari kebahagiaan sahabatku. Kebahagiaan yang diimpikan oleh
setiap orang, juga impian aku yang semakin ditinggalkan oleh sahabat-sahabat
seperjuanganku. Sahabatku hari ini menikah. Ya, menikah. Dengan seorang gadis
yang telah dipinangnya setahun yang lalu. aku belum pernah melihatnya,
jangankan aku, sahabatku saja baru dua kali melihatnya, ketiga kalinya langsung
aqad nikah.
"Hmmm,
aku baru bertemu sekali, jadi yang ketiganya adalah proses meminang."
pikirku dalam hati, membuat gumpalan hasrat yang suci. Kesucian dalam
melangsungkan pernikahan. Tercipta dikhayal sosok wanita bernama Indah.
Usiaku
memang sudah cukup. Terlebih melihat teman-teman yang sebagian besar sudah
menikah, aku selalu saja diprovokasi agar menyusul. Aaakhh..., mereka seakan
menyuruhku untuk cepat-cepat menikah. Betapa tidak, setiap berkunjung kerumah.
Mereka selalu berpasangan, berduaan, berjalan berdua, merasakan indahnya malam
pertama, tak jarang mereka didepanku menciumi istrinya, mengecup keningnya,
meremas jarinya. Aaakhhhh... Aku iri!! Aku juga ingin cepat menikah, aku ingin
merasakan nikmatnya memadu kasih. Tapi, semua tahu bahwa keluargaku saja belum
mengizinkanku menikah, dengan alasan belum dapat kerja atau usia masih kecil.
Padahal, dari usia aku sudah cukup.
Dikeramaian
walimahan seorang sahabat, suasana begitu romantis, beberapa sahabat yang
datang menyalami. Mereka memboyong istri-istri mereka, masih membelai mesra.
Disudut
depan, seorang wanita yang tak pernah kulupakan duduk dengan manisnya, dekat
pengntin wanita. Dengan senyuman yang mempesona indah. Disana Indah, yang
selama ini aku cari menampakkan diri saat resepsi pernikahan sahabtku.
Aaakhh..., jodoh memang tidak kemana. Saat yang tepat, tak boleh aku sia-sia
kan. Secepat kilat aku mendekatinya, sedetik kemudian sudah disampingnya. Dia
nampak terkejut, namun masih terlihat cantik.
"Maass...,
Ade?"
"Indah?"
Sejenak
kami terdiam, sorot matanya penuh kebahagiaan. Pengantin wanita membuyarkan
lamunan kami.
"Rupanya
kalian sudah saling kenal?, Indah kamu sudah mengenal Ade, sahabat suamiku,
kini. Ade, kamu mengenal Indah, dia sahabatku."
Selanjutnya,
kami membahagiakan pengantin, saling bercerita dengan indah, tentang sahabatku
Dodi yang saat ini sedang bermesraan dengan istrinya yang syah, Indah
menceritakan persahabatannya dengan Istri Dodi. Dengan diselingi tawa renyah
dari kami. Menyegarkan suasana walimahan.
"Kamu
tidak memakai nomor ha-pe dulu lagi ya?, pernah (padahal beberapa kali) aku
hubungi kamu, kok gak nyambung sih?" seketika ucapku.
"Ooooh!
Maaf, waktu shalat dzuhur itu ha-peku terjatuh dan semua isinya berantakan
termasuk pin-kartu yang kupakai, dan sampai sekarang tidak ketemu."
jelasnya. Sejuta hati yang gundah, seribu kekecewaan dan prasangka gak baik
seketika lenyap ditelan waktu yang terus berlari.
Jam
terus berputar, ibu pasti marah besar jika sudah siang aku belum pulang
mengembalikan baju batik yang kupinjam ketetangga sebelah.
"Wah,
maaf ya. Aku harus pulang, sudah siang nih." ucapku, segurat kekecewaan
terlintas di wajah Indah.
"Saya
juga harus pulang." singkatnya.
Akhirnya,
aku dan dia pulang bersamaan. Diperjalanan kami brcerita tentang masa depan.
Tentang indahnya berkeluarga. Tentang Sakinah, Mawaddah Wa rahmah.
Sebelum
brpisah...
"Indah....,"
sapaku pelan, dengan nada bergetar terbata-bata.
"Kenapa,
A?" balasnya lembut.
"Hmmm,
sudah ada niat untuk me...ni..kah?" dengan harapan yang teramat agung.
"Sudah
ada..,"jawabnya pelan.
"Apa??!!"
aku terkejut.
"Sudah
ada niat, tapi belum ada laki-laki yang berani menyatakan: Cinta."
balasnya dengan mata berbinar-binar penuh harapan. Meredakan kegalauan yang
nyaris membuat patah hati.
Jiwa
pemudaku muncul. Kegagahan yang telah lama terpatri seketika meledak. Keyakinan
dan keinginan selam ini terpendam membuncah, membanjiri rona alam yang
mempesona. Melahirkan kekuatan dan keberanian yang semakin kuat, terbang
melayang keseluruh arah.
"Maukah
Dinda menjadi istriku??"
Sebuah
pengakuan yang terdalam dari isi hatiku. Wajahnya merona merah. Keayuannya
memancarkan butir-butir kebahagiaan. Nampak keindahan syurgawi yang selama ini
terpelihara dalam diri. Dia tertunduk malu. Jari-jemarinya tak bisa diam.
Gemuruh didadanya terdengar menyentuh gemuruhnya hatiku. Sebuah penyatuan jiwa
yang selama ini mendamba hadirnya cinta.
"Mas...,
Insyaallah..., Indah siap. Indah bersedia."
masih
tertunduk, bibirnya menyusun kata-kata yang selama ini kuharapkan. Jilbabnya
yang melambai-lambai terbawa angin yang seakan menjadi saksi bisu cinta kami
berdua.
Tentu
saja setelah hari yang teramat bahagia itu, kuungkapkan kepada ibu, memohon doa
restu, dengan merayu penuh cinta mengucap keinginan menikahi seorang bidadari.
Aaakhh..., alam tidak selalu cerah, ibu menolak dengan tegas.
"Mau
kawin? mau pake apa? Pake uang kertas!! Semuanya sekarang harus pakai uang,
kerja belum... minta kawin!! Kamu bukan di zaman nabi lagi, yang hanya dengan
mengucap basmallah kamu bisa kawin, hanya dengan sepeser kamu bisa
kawin!!" kata-kata ibu menusuk ulu hatiku, semua memang salahku sendiri.
Kenapa sampai detik ini belum kerja, kenapa tidak mencari uang, mencari
penghasilan. Kalau saja waktu kuliah aku mengikuti saran Farhan membuka kios,
tentu saja saat ini beberapa lembar uang unuk menikah dapat terkumpul.
Aku
menangis, lelehan air mata membasahi pipiku. Menyiksa batin yang selama ini aku
hiasi dengan cinta.
"Maafkan
Mas, dinda. Mas belum bisa menikahimu!!"
Dua
minggu sudah harapan itu berlalu, perlahan redup. Indah yang menunggu tak
sabar memintaku menemui orangtuanya, sebagai komitmen cinta dan kata kalbuku.
Aku tak sanggup menahan sesaknya dada ini. Hanya dimalam yang hening kubersujud
padaNya, memohon kemurahanNya, meminta belas kasihNya. Mengharapkan kasih
sayangNya.
Jumat
pagi, ponselku berbunyi. Sajadah yang basah oleh air mata kulipat dengan
khidmat. Kuterima suara diujung ha-pe. Suara lelaki berucap.
"Selamat...!!,
sekali lagi selamat! Bapak Ade kelana menjadi pemenang dalam lomba penulisan
karya ilmiah, sebagai juara pertama. Mendapat uang tunai sebesar 20 Juta. Benar
20 juta! Besok silahkan ambil langsung di panitia."
Bagai
bumi yang kering setahun mendadak tersiram air hujan. Aku bahagia sekali.
Mulutku tak bisa berucap. Sekejap terpaku dalam hening. Lalu sederet takbir
menggema, takbir memekikan kemenangan. Takbir akan kekuasaan sang ilahi. Memang
tiga bulan yang lalu aku mengirim sebuah karya ilmiah, dan aku sendiri lupa
bahwa pengumumannya kemarin.
Hari
ini, dengan gagah dan rapi bergegas mendatangi panitia lomba. Dengan wajah yang
ceria dan tubuh yang sehat. Tidak biasanya, pagi tadi ibu menyiapkan sarapan
yang enak, membuat selera makanku bangkit. Dua piring habis kulahap. Ibu dengan
wajah berbinar-binar, ikut senang anaknya dapat uang banyak, tentu saja
beberapa lembar akan jatuh ketangan kasarnya.
Ditempat
panitia lomba aku langusng menagih hadiahku, gepokan uang seratus ribuan
berderet dihadapanku. Dengan teliti kuhitung perlembarnya, sudah cukup. Sejurus
pulang kerumah dengan wajah berseri-seri.
Sejak
itu semuanya lancar. Orangtua indah mengizinkan kami menikah. Indah tersenyum,
malu-malu. Ia masuk kekamarnya. Aku hanya melihatnya berjalan seperti bidadari
yang hendak dikecup.
"Sebulan
lagi aku akan dikamar itu, bersamamu." gumamku dalam hati.
Sebulan
waktu yang pendek, persiapan diatur sedemikian rupa. Keluara Indah yang
memiliki perusahaan dua, hendak menyenangkan hati putri satu-satunya. Jadi,
gelar S1 cukup bisa memegang sebuah perusahaan yang dihadiahkan oleh ibu mertua
untuk kami, kelak.
Hari
yang cerah, disebuah rumah yang megah. Bersama dua keluarga besar, berkumpul
menyaksikan sebuah sejarah baru dari dua insan yang hendak memadu kasih. Sebuah
aqad nikah yang sakral, dan hanya sekali.
Indah
sudah merelakan untuk menjadi teman hidupku, maka sesaat lagi jalinan perasaan
itu akan sah. Sesaat lagi, apa-apa yang haram bagi kami telah menjadi halal
atas karunia Allah. Sesaat lagi, seorang jejaka akan memberikan kelembutan sikap
kepada wanita, bernama Indah yang beberapa waktu lalu aku pinang. Inilah akad
nikah. Inilah akad yang menjadikan halal apa-apa yang sebelumnya haram, dan
membuat berpahala apa-apa yang sebelumnya merupakan dosa.
Aqad
nikah diakhiri dengan takbir para undangan. Menyambut kami yang sudah Syah.
Sebagai suami-istri. Indah resmi menjadi isriku, aku menjadi suaminya.
"Alhamdulillah,
aku jadi nikah juga." bisikku pada seorang sahabat yang datang dengan
istrinya.
Mulai
hari ini, dia akan kujaga, tak akan kubiarkan air matanya menetes karena
kesombonganku. Dia akan kubahagiakan, ku jadikan bidadari dalam rumahku. Aku
akan menjadi suami yang berada didepannya dalam keadaan sesulit apapun. Semua
kesedihan, sakit, dan kegalauannya adalah milikku juga.
Kupegang
tangan istriku yang cantik. Kuremas jari-jarinya yang lembut. Ia tertunduk
malu. Kuangkat dagunya yang indah. Nampak tetesan air mata kebahagiaan.
Aaakhh...., Aku terbang keawan yang biru, indah. Indah sekali. Dengan sejuta
asa dalam hati. Dengan seribu urat syaraf yang berlarian. Diiringi detak
jantung yang saling berkejaran. Aku dekatkan bibirku pada keningnya. Ah,
kecupan pertama yang indah. Hangat. Meresap dalam rongga dada. Ia membuka
matanya yang sayu-putih. Aku tersenyum, Indah membalas senyumku, senyuman
termanis sejak ia jadi istriku.
Aqad
telah berakhir, suasana ramai menyertai kebahagiaan kami, semua karib kerabat
mengucapkan selamat, menyalami dengan hangat.
Malam
cepat berkunjung. Burung-burung telah terbang kembali kesarangnya. Suasana
diluar cerah. Para tamu berangsur meninggalkan malam yang hening. Setelah semua
sepi, Indah meninggalkanku pergi berwudhu, sedetik kulihat ia berjalan kekamar,
kulihat senyumnya menggoda hatiku, ia menganggukan kepala. Akupun mengambil
wudhu, mengikutinya memasuki kamar. Kami melaksanakan sholat Isya bersama. Rasa
cinta menghadirkan kerinduan-kerinduan halus. Walau dihiasi salah tingkah
dan malu-malu. Dua rakaat sunnah kami laksanakan.
Selepas
sholat dia mencium tanganku penuh kelembutan, meminta doa akan kesejahteraan
dan kedamaian dalam keluarga. Segelas air susu tersedia sedari tadi, aku
meminumnya dia pun menghabiskan setengah gelas yang masih tersisa.
Aku
duduk ditempat tidur yang bertaburan bunga. Wangi semerbak menggoda gairah
pengantin baru. Indah duduk disampingku. Perlahan melepaskan jilbabnya.
Subhanallah, rambutnya halus terurai. Wajahnya nampak indah dengan rambut
halusnya terurai. Kini telah hadir sosok bidadari dihadapanku. Kembali kuremas
jari jemarinya yang lembut. Kutatap bola matanya, dan kukecup keningnya. Ah,
masih hangat. Tanganku memegang pipinya yang ayu. Ia tertunduk malu. Kugoda
dengan kata-kata manis yang membuatnya semangat. Setelah itu kami terdiam, diam
seribu kata. Kuangakat dagunya, dia tersenyum. Kupandangi bibir tipisnya yang
merah-jingga.
Kudekatkan
bibirku ke bibirnya. Namun, seketika telunjuknya menghentikan bibirku, menempel
sebuah telunjuk yang halus. Kedua tangannya memegang pundakku,
meremas-remasnya. Aku tetap menatapnya. Membiarkan dirinya merasakan apa yang
diinginkan. Aku mengikhlaskan diri, membiarkan istriku yang sedang
merasakan kebahagiaan denganku. Dia menggoyangkan bahuku, pelan... pelan..
pelan.
Namun
semakin lama semakin kuat.. semakin keras... Ia goyangkan tubuhku dengan
kerasnya. Terus... terus.. terus... aku hamir jatuh. Ia seakan tertawa,
melihatku yang sedikit ketakutan. Ia memukul dadaku. Menggoyangkan tubuhku,
kali ini lebih keras lagi. Dorongannya semakin kuat. Aku terkejut!! Ia dorong
lagi. sampai terjatuh. Aku terjatuh, keras sekali.
"Uuhkhhh...
Sakit!!"
****************
"Mas...
bangun mas... sudah sampai terminal Pulogadung!!" kulihat seorang bapak berkumis
berdiri dihadapanku, bangku-bangku bis nampak berjejer. Kulihat sekeliling
sudah sepi. Wanita yang disamping pun lenyap.
"Aaaaaaaakhh...,
ternyata semua ini hanya mimpi."
-TAMAT-
Sumber : Mimbar Dakwah Islam
Sumber : Mimbar Dakwah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar