Aku tidak tahu berada
dimana. Meski sekian banyak manusia berada disekelilingku, namun aku tetap
merasa sendiri dan ketakutan. Aku masih bertanya dan terus bertanya, tempat apa
ini, dan buat apa semua manusia dikumpulkan. Mungkinkah!!! ah, aku tidak mau
mengira-ngira. Rasa takutku makin menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak
pernah kukenal sebelumnya mendekati dan menjawab pertanyaan hatiku.
"Inilah yang disebut Padang Mahsyar," suaranya begitu menggetarkan jiwaku.
"Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku," batinku.
Aku menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari seseorang yang kukenal. Kusaksikan langit menghitam, sesaat kemudian bersinar kemilauan dengan jarak Sang Surya dan kepala hanya sejengkal. Bersamaan dengan itu, terdengar suara menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan, hari dimana semua manusia akan menerima keputusan akan balasan dari amalnya selama hidup di dunia. Hari ini pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya, surgakah yang akan dinikmati atau adzab nerakakah yang siap menanti!!!
"Inilah yang disebut Padang Mahsyar," suaranya begitu menggetarkan jiwaku.
"Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku," batinku.
Aku menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari seseorang yang kukenal. Kusaksikan langit menghitam, sesaat kemudian bersinar kemilauan dengan jarak Sang Surya dan kepala hanya sejengkal. Bersamaan dengan itu, terdengar suara menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan, hari dimana semua manusia akan menerima keputusan akan balasan dari amalnya selama hidup di dunia. Hari ini pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya, surgakah yang akan dinikmati atau adzab nerakakah yang siap menanti!!!
Aku semakin takut,
belum pernah aku merasa takut seperti ini. Namun ada debar dalam dadaku
mengingat amal-amal baikku di dunia, Mungkinkah aku tergolong orang-orang yang
mendapat kasih-Nya atau jangan-jangan!!!
Aku dan semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari Yang menguasai hari pembalasan. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara menggema tadi yang mengatakan, bahwa sesaat lagi akan dibacakan daftar manusia-manusia yang akan menemani Rasulullah SAW di surga yang indah. Lagi-lagi dadaku berdebar, ada keyakinan bahwa namaku termasuk dalam daftar itu, mengingat banyaknya infaq yang aku sedekahkan. Terlebih lagi, sewaktu di dunia aku dikenal sebagai juru dakwah.
"Kalaulah banyak orang yang kudakwahi masuk surga, apalagi aku," pikirku mantap.
Akhirnya, nama-nama itupun mulai disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa namaku ada dalam deretan penghuni surga itu, mengingat ibadah-ibadah dan perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu, nama Rasulullah Muhammad SAW sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai janji Allah melalui Jibril, bahwa tidak satupun jiwa yang masuk kedalam surga sebelum Muhammad SAW masuk. Setelah itu tersebutlah para as-Sabiquunal Awwaluun. Kulihat Fatimah az-Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia sebagai wanita pertama yang ke surga, diikuti para istri-istri dan keluarga nabi dan rasul lainnya.
Yasir dan Sumayyah berjalan tenang dengan predikat Syahid dan Syahidah pertama dalam Islam. Juga para sahabat lainnya, satu persatu para pengikut terdahulu Rasul itu dengan bangga melangkah ke tempat dimana Allah akan membuka tabirnya.
Yang aku tahu, salah satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah melihat wajah Allah.
Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah bersyukur mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang bersama Muhammad SAW menyebarkan risalah Islam. Setelah itu tersebutlah para mukminin terdahulu dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah.
Sementara itu, dadaku berdegub semakin keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu melihat rombongan anak-anak yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati kesegaran telaga kautsar. Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Sepertinya aku kenal mereka. Yaa Allah, mereka anak-anak yatim sebelah rumahku yang tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu menangis kelaparan dimalam hari, sementara sering kubuang sebagian makanan yang tak habis kumakan.
"Subhanallah, itu si Paijo tukang mie dekat rumahku," aku terperangah melihatnya melenggang ke surga. Paijo, pemuda yang tidak pernah lulus SD itu pernah bercerita, bahwa sebagian besar hasil dagangnya ia kirimkan untuk ibu dan biaya sekolah empat adiknya. Paijo yang rajin sholat itu, rela berpuasa berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba, orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi, "Paijo yang tukang mie itu lebih baik dimata Allah, Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain." Sementara aku, semua hasil keringatku semata untuk keperluanku.
Lalu berturut-turut lewat di depan mataku, mbok Darmi penjual pecel yang kehadirannya selalu kutolak, dan pengemis yang setiap hari lewat depan rumah dan selalu mendapatkan kata "maaf" dari bibirku dibalik pagar tinggi rumahku. Orang disampingku berbicara lagi seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tidak kulontarkan,
"Mereka ihklas, tidak sakit hati serta tidak memendam kebencian meski kau tolak."
Masya Allah sobat seperjuanganku dikampus, mereka mendahuluiku ke surga. Setelah itu, berbondong-bondong sobat diFacebook yang berlangganan membaca Artikelku. "Mereka belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Sedangkan kau, terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengarkan. Padahal, lebih banyak yang bisa dipelajari dengan mendengar dari pada berbicara," jelasnya lagi.
Aku semakin penasaran dan terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring dengan itu antrian manusia-manusia dengan wajah ceria, makin panjang. Tapi sejauh ini, belum juga namaku terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera bertemu Allah dan berkata,
"Ya Allah, didunia aku banyak melakukan ibadah, aku bershodaqah, banyak membantu orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke surga-Mu."
Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara lagi, aku ingin menolaknya.
Tetapi, tanganku tak kuasa menahannya untuk berbicara.
"Ibadahmu bukan untuk Allah, tapi semata untuk kepentinganmu mendapatkan surga Allah, shodaqahmu sebatas untuk memperjelas status sosial, dibalik bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu," bergetar tubuhku mendengarnya.
Termasuk Manakah Aku ?
Jam dinding berdentang tiga kali. Aku tersentak bangun dan,
Astaghfirullah ternyata Allah telah menasihatiku lewat mimpi malam ini...
Aku dan semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari Yang menguasai hari pembalasan. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara menggema tadi yang mengatakan, bahwa sesaat lagi akan dibacakan daftar manusia-manusia yang akan menemani Rasulullah SAW di surga yang indah. Lagi-lagi dadaku berdebar, ada keyakinan bahwa namaku termasuk dalam daftar itu, mengingat banyaknya infaq yang aku sedekahkan. Terlebih lagi, sewaktu di dunia aku dikenal sebagai juru dakwah.
"Kalaulah banyak orang yang kudakwahi masuk surga, apalagi aku," pikirku mantap.
Akhirnya, nama-nama itupun mulai disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa namaku ada dalam deretan penghuni surga itu, mengingat ibadah-ibadah dan perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu, nama Rasulullah Muhammad SAW sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai janji Allah melalui Jibril, bahwa tidak satupun jiwa yang masuk kedalam surga sebelum Muhammad SAW masuk. Setelah itu tersebutlah para as-Sabiquunal Awwaluun. Kulihat Fatimah az-Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia sebagai wanita pertama yang ke surga, diikuti para istri-istri dan keluarga nabi dan rasul lainnya.
Yasir dan Sumayyah berjalan tenang dengan predikat Syahid dan Syahidah pertama dalam Islam. Juga para sahabat lainnya, satu persatu para pengikut terdahulu Rasul itu dengan bangga melangkah ke tempat dimana Allah akan membuka tabirnya.
Yang aku tahu, salah satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah melihat wajah Allah.
Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah bersyukur mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang bersama Muhammad SAW menyebarkan risalah Islam. Setelah itu tersebutlah para mukminin terdahulu dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah.
Sementara itu, dadaku berdegub semakin keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu melihat rombongan anak-anak yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati kesegaran telaga kautsar. Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Sepertinya aku kenal mereka. Yaa Allah, mereka anak-anak yatim sebelah rumahku yang tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu menangis kelaparan dimalam hari, sementara sering kubuang sebagian makanan yang tak habis kumakan.
"Subhanallah, itu si Paijo tukang mie dekat rumahku," aku terperangah melihatnya melenggang ke surga. Paijo, pemuda yang tidak pernah lulus SD itu pernah bercerita, bahwa sebagian besar hasil dagangnya ia kirimkan untuk ibu dan biaya sekolah empat adiknya. Paijo yang rajin sholat itu, rela berpuasa berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba, orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi, "Paijo yang tukang mie itu lebih baik dimata Allah, Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain." Sementara aku, semua hasil keringatku semata untuk keperluanku.
Lalu berturut-turut lewat di depan mataku, mbok Darmi penjual pecel yang kehadirannya selalu kutolak, dan pengemis yang setiap hari lewat depan rumah dan selalu mendapatkan kata "maaf" dari bibirku dibalik pagar tinggi rumahku. Orang disampingku berbicara lagi seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tidak kulontarkan,
"Mereka ihklas, tidak sakit hati serta tidak memendam kebencian meski kau tolak."
Masya Allah sobat seperjuanganku dikampus, mereka mendahuluiku ke surga. Setelah itu, berbondong-bondong sobat diFacebook yang berlangganan membaca Artikelku. "Mereka belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Sedangkan kau, terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengarkan. Padahal, lebih banyak yang bisa dipelajari dengan mendengar dari pada berbicara," jelasnya lagi.
Aku semakin penasaran dan terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring dengan itu antrian manusia-manusia dengan wajah ceria, makin panjang. Tapi sejauh ini, belum juga namaku terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera bertemu Allah dan berkata,
"Ya Allah, didunia aku banyak melakukan ibadah, aku bershodaqah, banyak membantu orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke surga-Mu."
Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara lagi, aku ingin menolaknya.
Tetapi, tanganku tak kuasa menahannya untuk berbicara.
"Ibadahmu bukan untuk Allah, tapi semata untuk kepentinganmu mendapatkan surga Allah, shodaqahmu sebatas untuk memperjelas status sosial, dibalik bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu," bergetar tubuhku mendengarnya.
Termasuk Manakah Aku ?
Jam dinding berdentang tiga kali. Aku tersentak bangun dan,
Astaghfirullah ternyata Allah telah menasihatiku lewat mimpi malam ini...
Sumber : Mimbar Dakwah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar