Dapatkah
seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata
wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.
Gadis
yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan,
menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.
Semua
berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang
diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.
“Kami
sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis
itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya
Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat.
Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini
diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal
yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya
saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.
Mereka
sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak
remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami
jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal
tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada
adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai
gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu
menyulap semuanya menjadi…cinta (?).
Mari
katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya
pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu
merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir
melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.
“Mungkin
kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya
tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.
”Barangkali
saja itu pertanda.”
”Bahwa
Lala jodoh saya?”
”Bukan.
Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti
Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”
Jamal
tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.
Wah,
pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam
itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin
mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang
kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.
”Kenapa
tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku
waktu itu.
”Ah,
adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah.
Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya
ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”
“Bukan
itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya
hanya romantisme sesaat.”
Ibu
tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal
yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya
justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan
semua itu padamu.”
Walah!
Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus
memastikan perasaan adikku sendiri.
***
Ia
diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan
perjodohannya dengan Lala.
“Kamu
mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.
”Mungkin…
Entahlah. Rasanya tak wajar.”
Tentu
saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi
pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun
tak tahu.
“Santai
saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang
Rohim, suamiku.
***
Setiba
di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.
”Wah,
iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.
Jamal
hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia
kanak-kanak dulu.
”Mana
Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada
di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku
segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat
seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun
pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim,
butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa
sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak
banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami
bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan,
pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami
keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang
kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan
kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan
maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.
Malam
ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala.
Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius
dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh
cinta, bahkan tentang pinangan.
“Mungkin
Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya
sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang
lamar?”
Bukan
manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti
aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim
dulu.
“Maaf,
Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”
Berakhirlah.
Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti,
namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami
pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak
hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya.
Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam
perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya
penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua
kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal
betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala
terhadapnya.
Waktu
kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu.
Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.
Ayah
dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka
untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat
orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku.
Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.
Terserahlah
apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak
kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap
memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus
diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu,
Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia
mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah
sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak
sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami
sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa,
temannya sejak SMU itu.
Alhamdulillah
berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah
meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.
***
Kesediaan
Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan
tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya
Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun,
termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.
”Entahlah,
Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku
terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa
pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba
membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya
Azisa bukan jodohku.”
Aku
semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?”
tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya
mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku
meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata
Lala!”
Aku
kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat
menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.
”Maafkan
jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk
masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah
benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal.
Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah
benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali
maknanya.”
”Kamu
memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan
Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak
berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal
hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak
menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.
”Mungkin,”
lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam
bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki
Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”
Aku
tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan
apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan
seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala.
Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk
Jamal, menangis sesal.
Jamal
turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian,
keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.
“Besok
kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau
tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita
bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir
ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di
saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya.
Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak.
Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin
aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji
untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap
kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi
karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar
kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang
mempercayai?
Aku
terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan
segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia
tetap yang menentukan. Maafkan aku.
Sumber
: Majalah Ummi, No. 12/XVI April 2005/1426 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar